Menjana kemenangan BA dalam tahun 2004

EDISI KHAS JIHAD DI POSO, SULAWESI TENGAH

Kami Dibantai Seperti Menebas Batang Pisang

Sutarmin (23), Warga Sintuwulemba, Kecamatan Lage, merupakan korban pembantaian yang selamat. Berikut kesaksiannya kepada Sahid tentang pembantaian di masjid Al Hijrah dan Sungai Poso serta liku-liku penyelamatan dirinya.

Sejak hari Jum'at (25/5/00) beredar isu Pesantren Walisongo hendak diserang Pasukan Merah. Hari Ahad (28/5) saya berencana datang ke pesantren untuk berjaga-jaga. Meski orang tua melarang, tapi saya nekad. Kalaupun mati akan syahid. Karenanya saya membawa parang dan senjata dum-dum, juga beras dua kilogram, mie instan dan biskuit untuk persiapan.

Benar saja, ketika sampai di kompleks pesantren asrama sudah dibakar. Suara tembakan terdengar di sana-sini. Saya segera bergabung. Pasukan Kristen terpukul mundur. Tetapi kemudian datang bantuan dua truk pasukan dari arah Tagolu. Mereka bertopeng, ikat kepala merah, pakaian hitam-hitam, sangat sigap. Jumlahnya hampir 300 personil.

Para santri panik, mereka lari ke sawah, kebun, atau kemana pun agar bisa menyelamatkan diri. Pukul 11.00 pagi kami diserang dari barat dan timur. Pukul 12.00 kami sudah terkepung. Ustadz Sahuddin, pembina pesantren, memerintahkan para santri yang berjumlah 70-an orang berkumpul di masjid Al-Hijrah Desa Sintuwulemba. Para santri bingung sehingga menembak sembarangan. Saya juga menembakkan dum-dum. Ustadz Lukman, Ust Bambang, dan beberapa pembina kami sudah terkumpul.

Karena terdesak dan kalah persenjataan, Ust Sahuddin mengibarkan bendera putih lewat jendela. Senjata-senjata juga kami singkirkan. Pasukan merah segera masuk masjid lewat pintu selatan. “Kumpul kalian semua di ujung,” teriak salah seorang komandan. Kami menurut saja.

Saya menyaksikan para santri dibantai. Leher mereka ditebas seperti menebas batang pisang. Leher saya juga ditebas (menunjuk luka melintang sepanjang 30 cm di punggung bagian atas), tapi saya tangkis sehingga telapak tangan saya nyaris putus. Lutut kanan juga ditebas. Saya pura-pura mati, menahan nafas, sambil melihat para santri yang dibantai yang sedang berlangsung.

Ternyata ulah saya itu ketahuan. “Eh, kamu jangan pura-pura mati!” teriak salah seorang. Saya lalu disuruh melepas baju dan keluar. Begitu lewat pintu timur, leher saya ditebas lagi. Saya pura-pura mati lagi. Kali ini tidak ketahuan. Saya melihat para santri yang masih hidup diikat tangannya dan dimasukkan ke dalam truk. Tinggal yang mati, termasuk saya.

Terdengar salah seorang teriak, “Ada 38 yang mati!” Saya tidak tahu nasib mereka, termasuk Ust. Sahuddin, Ust. Bambang, Ust. Luqman, Ust Haryoto, Ust Sofyan, Ust Slamet Waluyo dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang agama.

Ketika saya masih tergeletak di masjid dan berusaha berdiri meski sempoyongan, ternyata mereka datang lagi sekitar pukul 15.30. Karena bingung, saya cepat masuk lagi ke masjid. Rupanya mereka mendengar seorang korban yang mendengkur karena lehernya digorok. “Ini ada yang masih hidup!” Orang itu itu langsung digorok dan dicincang.

Salah seorang lantas teriak, “Itu yang celana biru masih hidup!” Saya memang pakai celana biru. Untung tidak dicincang, hanya diinjak, dan digoyang-goyang dengan kaki. Saya tahan nafas. Mereka mengira saya mati. “Sudah mati kok!”

Mayat-mayat lalu diangkut ke atas truk. Tiap mayat yang keluar dari masjid, dipotong lagi, sehingga darah di teras masjid seperti guyuran air. Rupanya truk tidak cukup, sehingga yang terangkut baru setengah. Saya tidak tahu mereka dibuang ke mana.

Begitu mereka pergi, saya berusaha meninggalkan masjid. Kalau tetap di masjid, ketika mereka kembali, saya pasti mati. Ada salah seorang santri yang masih hidup, saya ajak lari. Sayang tak mampu. Bahunya telah terpotong, juga lehernya, tapi masih bisa berbicara, “Kamu kena apanya?” Apa boleh buat, saya tak mampu membawanya sebab tangan saya juga nyaris putus.

Baru berjalan lima langkah pandangan jadi gelap dan kepala pusing. Tapi saya tetap berusaha sekuat tenaga. Sekitar 25 meter ada WC, saya masuk di situ sampai pukul 18.00. Saya coba jalan lagi, ada WC lagi, saya masuk. Satu jam kemudian jalan lagi, kali ini masuk kamar mandi selama satu jam. Saya menimba air dengan tangan kanan sebab tangan kiri saya sudah dipotong. Tali timbanya saya gigit. Dapat air setengah ember, saya minum semua sampai habis.

Kemudian jalan lagi, masuk sebuah rumah yang sudah dibakar tapi tidak terlalu rusak karena dari tembok. Semalam saya di situ. Subuh saya keluar menuju sawah. Saya sempat terjatuh karena kepala pusing sekali. Sekitar pukul 06.30 ketemu dengan warga Kilo Sembilan. Dia kaget, “Hei, ternyata dia masih hidup!” Warga berlarian menyambut, saya ditandu. Pukul 09.00 luka-luka saya diobati, dijahit sekadarnya oleh bidan.
Pukul 17.00 ada seorang pengungsi memberitahukan, korban yang lari dari masjid akan dicari, yang menampung pelarian itu akan diculik dan dibunuh. Orang-orang ribut. Malam itu saya ditinggal sendirian di tengah rawa yang kering.

Malam itu ternyata hujan lebat hingga dini hari. Saya menggigil. Paginya beberapa warga dan keluarga saya datang. Mereka menangis semua. Hari Selasa (30/5/00), saya dipindahkan ke sebuah gubug sebab belum ada orang yang berani menampung. Orang-orang di pengungsian pun tidak mau menerima saya, takut dibunuh. Saya menuju kampung sebelah atas. Ternyata masih ada santri yang berkenan menampung saya. Saya banyak mendapat perawatan, sampai Rabu (31/5/00).

Sore ada penyerangan lagi di kampung bawah. Saya panik, lari sambil pincang-pincang. Saya takut dipotong lagi. Saya sudah kapok dipotong-potong. Malam itu saya usulkan kepada salah seorang pendiri Walisongo agar kami pindah tempat pengungsian.

Nahas, hari Kamis (1/6/00), saya tertangkap lagi bersama 28 orang santri termasuk Ilham yang akhirnya lolos dari pembantaian. Ada sejumlah perempuan dan anak-anak. Kata-kata mereka terdengar manis, “Kamu yang laki-laki tak akan diapa-apakan, tapi senjata tolong dibuang.” Perempuan dipisah dengan yang laki-laki.
Tangan kami diikat. Saya sudah menduga, pasti ada yang tidak beres. Baju disuruh lepas, pasti kami dibunuh. Masing-masing lima orang kami diperintah jalan menuju Lembomawo, jaraknya lima kilometer. Lalu jalan lagi sampai di jembatan gantung Ranonuncu. Dari situ mulai ada penyiksaan. Kami disuruh berdiri dan berhitung satu sampai 28. Bila salah bicara langsung dipukul. Ada seorang tua dari Jawa yang tidak bisa berbahasa Indonesia, disiksa karena tidak bisa berhitung.

Kemudian kami dimasukkan ke baruga (balai desa) Ranonuncu. Terjadi penyiksaan luar biasa. Beberapa orang anggota badannya dipotong, tapi dibiarkan hidup. Tiap ada yang dipotong terdengar, “Allahu akbar!” . Leher depan saya juga digorok, tapi luka sedikit. Jahitan dipunggung dicongkel dengan parang.

Setelah disiksa kami diangkut ke dalam truk warna merah ke arah selatan. Jalan naik dan berbelok-belok. Di situlah warga pesantren dibantai. Tiap ada teman yang turun dari truk, langsung ditebas. Saya sempat melihat enam orang bergelimpangan. Lehernya dipotong.

Saya bingung, akhirnya melompat dari truk sebelum ada perintah, ternyata tidak ada yang mengejar. Saya lari ke pinggiran kuala, sekitar 10 meter dari truk, tangan tetap terikat. Ketika ada yang datang hendak memenggal leher langsung melompat ke sungai. Subhanallah, tali pengikat saya lepas.

Orang mengejar saya itu juga melompat ke kuala, tapi mungkin tidak bisa berenang, tidak diteruskan tapi berteriak “Hei, itu ada satu yang masih hidup!” Ada yang menembak saya. Sebuah peluncur yang mengenai dada, tapi saya sudah tidak merasakan sakit.

Saya terus berenang. Ketika sampai di sebuah tikungan, saya berhenti, sembunyi. Luka-luka saya mulai dimakan semut. Karena tidak ada pakaian selembar pun di badan, saya diam saja sebab masih siang menjelang dhuhur. Saya tak berani berenang, takut ketahuan.

Saya berdoa semoga turun hujan. Alhamdulillah Allah mengabulkan.
Orang-orang Kristen yang sebelumnya berkeliaran di jembatan dekat persembunyian saya, pergi. Saya melihat ada para-para tempat orang mandi. Saya ke situ. Ternyata ada celana pendek. Meski kotor, langsung saya pakai. Beberapa saat kemudian saya ketemu dengan Ust Ilham, salah seorang pembina pesantren yang lolos dari pembantaian. Kami lantas sama-sama berenang, tapi beberapa saat kemudian kita terpisah.

Sekitar pukul 05.00, hari Jumat (2/6/00), saya sampai di dekat kantor PU. Ada beberapa mobil rusak, saya masuk. Karena tidak ada tempat untuk tidur, saya pindah ke gubug. Istirahat sebentar. Tiba-tiba terdengar suara “Dor!” Saya lari ke hutan lagi. Lalu kembali ke gubug itu. Saya tidur sampai siang. Terasa sangat haus, tapi tidak lapar.

Merasa belum tenang, saya terjun lagi ke sungai, berenang. Sekitar Subuh hari Sabtu (3/6/00), saya sampai di sekitar PAM. Ada para-para lagi. Ternyata ada sarung. Bantuan Allah memang selalu ada . Saya pakai karena dingin luar biasa. Ada rumah kosong di Gebangrejo, saya masuk. Saya tidur cukup nyaman sampai sekitar pukul 07.00. Terasa lapar saya makan buah coklat yang ada di dekat rumah itu. Saya sempat baca-baca buku di ruang tamu, tapi cuma sebentar karena kepala tidak kuat.

Saya lihat sekeliling ruang, ada kompor, kopi, gula, korek api. Saya coba nyalakan kompor. Setengah jam baru nyala sebab tangan kiri sulit digerakkan, apalagi udara dingin. Merebus air, saya buat kopi. Setelah itu tidur lagi. Saya terbangun ketika ada pengumuman dari arah masjid, agar warga setempat melakukan shalat Dhuhur dan shalat Ghaib untuk menghormati orang-orang yang meninggal.

Ketika saya keluar rumah, ada orang yang sedang mengejar ayam. Saya teriak, “Allahu akbar! Tolong saya!” Dia langsung memeluk saya, membopong saya ke rumahnya. Warga ketakutan melihat kondisi tubuh saya yang penuh luka dan darah. Saya diberi baju dan celana. Beberapa saat kemudian ada patroli aparat lewat, saya langsung dibawa, sehingga akhirnya selamat sampai saat ini.


Laporan Munanshar dan Pambudi dari Poso

 
Sampaikan informasi dan maklumat kepada mindarakyat@hotmail.com
OX Free Counter
OX Free Counter